Sore itu terdengar sayup-sayup
suara memanggilku. Dari kejauhan sebuah bayangan mulai tampak. Semakin dekat,
dan dekat, bayangan itu terus memanggil namaku. Aku segera tersadar dan
berdiri. Namun aneh, tubuhku terasa ringan dan sangat dingin. Aku mulai berlari
menghampiri bayangan itu. Saat kami bertemu dan bertatapan, aku coba untuk
tersenyum. Tapi??
Bayangan itu terus saja berjalan
kedepan tanpa memperdulikanku, dan perlahan mulai menembus tubuhku. Aku mulai
bertanya "Bagaimana bisa dia menembus tubuhku??". Kucoba untuk
menoleh kebelakang mengikuti bayangan itu berjalan. Betapa terkejutnya aku, aku
melihat tubuhku sudah tergeletak di tengah jalan dengan darah segar yang sudah
mengucur dari kepala. Dan aku lihat sudah banyak orang yang mengerumuniku. Aku
terpaku, aku tak mampu untuk berkata-kata.
Bayangan itupun perlahan mulai
memelukku sambil menangis histeris. Aku coba untuk berbicara dengan bayangan
itu, namun ia tak bisa mendengarku. Aku mencoba dan terus mencoba, namun apa
daya bayangan itu tetap saja tak mendengar omonganku.
Aku terus mencoba untuk
berkomunikasi dengan bayangan itu. Tapi tetap saja tak ada tanggapan. Aku
mencoba untuk membangunkan tubuhku, tapi tubuku tak mau bangun. Aku bertanya
pada Tuhan “Tuhan, sebenarnya apa yang telah terjadi?? Apakah aku sudah
meninggal??”.
Seketika itu tiba-tiba ada
ambulance yang datang. Para petugas rumah sakit segera mengangkat tubuhku yang
kaku tak berdaya. Bayangan itupun juga ikut bersama ambulance yang membawa
tubuhku. Aku baru sadar, ternyata bayangan itu sebenarnya adalah sahabatku.
Perlahan, mobil ambulance itupun berjalan menjauh meninggalkan aku yang masih
shock, hingga akhirnya hilang di belokan jalan.
Akupun mulai menangis dan berlari
pulang ke rumah. Di jalan aku mulai bertanya-tanya lagi “Sebenarnya apa yang
terjadi Tuhan?? Bagaimana bisa?? Bagaimana mungkin??”. Banyak pertanyaan yang
menangui pikiranku.
Sampai dirumah, aku lihat Ibu
menagis tersedu dengan ayah yang setia mendampingi Ibu serta membacakan surat
yasin sambil sesekali mengeluarkan air matanya. Aku segera masuk dan memeluk
keduanya. “Ayah, Ibu, Cici disini. Ayah sama Ibu jangan nangis lagi ya. Cici
nggak mau liat Ayah sama Ibu nangis.”
Beberapa saat kemudian telepon
rumah berdering. Ibu segera mengangkat telepon itu. Sesaat itu juga, tangisan
Ibu mulai terpecah kembali. Lalu Ayah segera menghampiri telefon yang dipegang
Ibu. Terdengar suara lelaki di seberang sana. Setelah selesai, Ayah menutup
telepon dan segera mengajak Ibu pergi menggunakan mobil.
Akupun ikut masuk ke mobil. Aku duduk
di tempat yang memang biasa aku tempati setiap aku naik mobil. Disepanjang
perjalanan itu Ibu hanya bisa menangis. Dan Ayah mulai berbicara pada Ibu
“Sudah bu, jangan menangis terus. Nanti kalau Ibu nangis terus, arwah Cici
nggak akan tenang disana. Ibu mau kalau Cici tersiksa dialam sana?Sudah ya bu,
jangan menangis lagi.” kata Ayah sambil tersenyum menguatkan hati Ibu.
Mobilpun perlahan mulai berhenti
didepan rumah sakit. Ayah dan Ibu segera keluar dari mobil dan menuju tempat
yang ditunjukkan seseorang saat ditelepon tadi. Ternyata Ayah dan Ibu menuju ke
kamar mayat dan aku lihat disana sahabatku juga sudah berjaga sambil masih
menangis terisak dengan muka pucat.
“Tante, Om, Ceri minta maaf, Cici
meninggal gara-gara Ceri.” kata sahabatku sambil masih menangis.
“Sudah Ceri, kamu nggak usah merasa
bersalah begitu, Cici meninggal bukan karena kamu. Mungkin Tuhan memang sudah
mentakdirkan Cici meninggal. Sudah Ceri, kamu nggak usah menangis lagi ya.
Lebih baik kamu berdoa supaya Cici tenang disana.” kata Ibu dengan nada kasih
sayangnya seraya memeluk Cici.
Akupun mulai teringat kejadian
sebelum aku meninggal. Diawali pada pagi tadi, aku pergi jalan-jalan menyusuri
alun-alun kota dengan Ceri. Kami berjalan-jalan sambil membeli jajan yang kami
inginkan, kami juga jalan-jalan menyusuri beberapa tempat yang sengaja ingin
aku tunjukkakn pada Ceri. Karena kebetulan sebenarnya Ceri bukan orang asli
Magelang, makannya aku ingin menunjukkan beberapa tempat tersebut. Dan
kebetulan juga ini hari terakhir Ceri ada disini.
Dari pagi sampai sore kami
berjalan-jalan tanpa lelah menyusuri
sudut demi sudut Magelang kota. Sampai akhirnya sekitar pukul 16.15 kami memutuskan untuk pulang karena
Ceri akan segera pulang ke Semarang. Namun pada saat aku menyeberang jalan, aku
tak begitu memperhatikan kanan kiri. Dari arah Utara, ada bis yang melaju
dengan cepatnya karena ingin mendahului mobil yang didepannya. Dan tiba-tiba
bis itupun menabrak tubuhku sampai terlempar sampai 10m. Sesaat aku masih
tersadar, namun saat aku coba untuk membuka mata kembali perlahan disekitarku
berubah menjadi gelap dan hitam. Saat aku terbangun kembali aku merasa ada yang
aneh, dan ternyata aku sudah meninggal.
Aku tertegun melihat Ceri yang tak
henti-hentinya menangis dengan muka yang mulai pucat. Setelahnya Ayah, Ibu,
Ceri dan Aku segera menuju ke mobil dan melanjukan mobil pulang kerumah.
Ternyata di rumah, sanak saudara, tetangga, teman, dan semua yang mengenal Ayah
dan Ibu sudah datang untuk mendoakanku.
Paginya saat aku akan dimakamkan,
aku tak melihat Ceri mengantarkan kepergianku. Saat aku coba mencari, ternyata
Ceri terbaring lemah dikasur dengan muka yang sudah sangat pucat. Aku ingin
sekali memberinya semangat, tapi aku tak bisa. Aku ingin memberi salam
perpisahan untuknya, tapi aku juga tak bisa.
Akupun mulai berdoa pada Tuhan “Ya Tuhan,
apakah aku sudah benar-benar meninggal?? Jika iya, aku ingin semua orang yang
aku tinggal sekarang, jangan sampai
menangisi kepergianku. Tolong kuatkan hati dan pikiran mereka. Aku tak ingin
melihat kesedihan diwajah mereka semua Tuhan.”
0 komentar:
Posting Komentar
*Silahkan berkomentar sesuka hati kalian namun jangan berkomentar yang mengandung SARA ataupun cemoohan terhadap orang lain. Terimakasih :)